http://www.widewalls.ch/ |
Aku masih ingat saat
kau berusaha menarik perhatianku. Caramu bicara waktu itu sangat mengesankan,
kau tahu betul aku menyukai pria yang tidak banyak bicara. Caramu bermain piano
di depan banyak orang juga membuatku kagum. Kau benar-benar tahu seleraku.
Tapi kenapa, kenapa
setelah kita menikah justru begini?
“Tolong jangan ganggu
aku dulu.”
“Apa yang sedang kau
lakukan sampai sesibuk itu?” keluhku.
Kau menatapku tajam,
lagi-lagi kau tahu aku akan diam begitu diberi tatapan seperti itu.
Kau berlalu begitu saja
dari hadapanku. Sakit hati ini melihat kau terus berlalu tanpa menoleh ke
belakang lagi.
Ini sudah terjadi dua
minggu berturut-turut, bahkan kau mengurung diri di kamar tamu setiap harinya.
Aku berusaha sabar. Aku
tahu kau pasti sedang menata pikiranmu karena status kita sekarang. Setidaknya
dengan begitu aku masih punya harapan, kau akan kembali memujaku seperti yang
kau lakukan dulu.
Waktu berlalu begitu
cepat. Tak terasa sudah sebulan ini kau memilih tidur di kamar tamu. Pagi pergi
kerja, malamnya mengurung diri di kamar. Aku tidak tahu apakah kau makan dengan
baik di luar sana, menyapaku saja tidak kau lakukan.
Hari itu tiba-tiba
listrik padam. Ini pemadaman bergilir. Waktu menunjukkan pukul 10 malam, aku
tidak bisa tidur karena terus memikirkanmu. Awalnya aku tidak peduli, kucoba
saja membeku di tempat tidur dengan mata terpejam sambil membayangkan kau
datang memelukku. Tapi sial, suara sesuatu yang jatuh dari luar membuatku
berhenti melakukan itu. Aku tak peduli kau akan mengumpatku dengan bagaimana
saat kau tahu kalau tiba-tiba aku masuk ke kamarmu. Yang pasti aku tidak mau
berada di sana sendirian.
Aku tidak tahu kau ada
di mana. Begitu menutup pintu tubuhku langsung meringkuk. Aku bisa merasakan
kehadiranmu tapi tidak tahu dengan pasti di mana dirimu. Aku juga bisa
merasakan tatapanmu, tapi kau di mana aku tetap tidak tahu.
Perlahan aku bisa
mendengar sebuah suara mengalun. Suara yang indah, berasal dari instrumen
piano. Kutajamkan pendengaranku, kau ada di sisi kiri tubuhku sekarang, tapi
sedikit jauh. Selama beberapa detik hanya terdengar suara melodi, aku tak tahu
itu melodi apa. Kau tidak memainkan Fur Elise atau Moonlight Sonata, atau juga
karya pianis legendaris lainnya. Yang kudengar adalah hatimu. Ya, hatimu yang
mengalun bersamanya. Kau sanggup membuat ketakutanku luntur perlahan.
“Yang tercantik dari
yang tercantik, kupersembahkan lagu ini untukmu, bidadari. Aku tahu suaraku
tidaklah indah, tapi aku tahu bahwa rasa ini sempurna. Maafkan semua kekuranganku,
terimalah semua kelebihanku. Aku tahu ini picisan tapi, aku mencintaimu.”
Itu adalah kalimat yang
kau ucapkan beberapa tahun lalu saat kau unjuk kemampuan bermain piano di depan
banyak orang . Saat itu matamu tertuju ke arahku. Tidak cukup dengan itu, kau
bahkan memamerkan senyum manismu, sampai kemudian beginilah status kita
sekarang. Aku ingat, melodi ini sama dengan melodi yang kau pakai dulu. Hanya
saja, kenapa kau tidak mengalunkan rapp itu lagi?
“Semua mimpi yang
semula jauh di depan mata kini telah ada di sampingku, memelukku, menciumku
mesra. Aku tak menyangka dia akan sedekat ini. Seorang bidadari yang rela
melepas selendangnya demi hidup bersama manusia tak tahu diri. Apakah aku hanya
berhalusinasi? Aku selalu menanyakan itu pada diriku sendiri, tanpa tahu bahwa
aku baru saja menyakiti perasaannya. Tuhan hukumlah aku, manusia bodoh ini baru
saja melukai makhluk indahmu.”
Suara melodi itu
berangsur-angsur hilang. Tepat ketika aku bangkit dan berniat menghampirimu,
listrik tiba-tiba menyala. Mataku reflek terpejam, tak kuat menahan sinar
terang yang menyorot tiba-tiba. Di saat itulah kau merengkuhku. Erat dan
hangat. Bagaimana bisa tubuh kurusmu mendominasi tubuh large size-ku?
Biasanya seseorang akan
meminta maaf di saat seperti ini. Tapi kau tidak.
Bicara saja tidak.
Hanya bernapas dan
memberiku kehangatan.
Begitu saja aku sudah
berterima kasih padamu.
“Selamat ulang tahun.”
–FIN