Why?

http://www.widewalls.ch/
By : Najla Al-faiq

Aku masih ingat saat kau berusaha menarik perhatianku. Caramu bicara waktu itu sangat mengesankan, kau tahu betul aku menyukai pria yang tidak banyak bicara. Caramu bermain piano di depan banyak orang juga membuatku kagum. Kau benar-benar tahu seleraku.

Tapi kenapa, kenapa setelah kita menikah justru begini?

“Tolong jangan ganggu aku dulu.”

“Apa yang sedang kau lakukan sampai sesibuk itu?” keluhku.

Kau menatapku tajam, lagi-lagi kau tahu aku akan diam begitu diberi tatapan seperti itu.

Kau berlalu begitu saja dari hadapanku. Sakit hati ini melihat kau terus berlalu tanpa menoleh ke belakang lagi.


Ini sudah terjadi dua minggu berturut-turut, bahkan kau mengurung diri di kamar tamu setiap harinya.

Aku berusaha sabar. Aku tahu kau pasti sedang menata pikiranmu karena status kita sekarang. Setidaknya dengan begitu aku masih punya harapan, kau akan kembali memujaku seperti yang kau lakukan dulu.

Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa sudah sebulan ini kau memilih tidur di kamar tamu. Pagi pergi kerja, malamnya mengurung diri di kamar. Aku tidak tahu apakah kau makan dengan baik di luar sana, menyapaku saja tidak kau lakukan.

Hari itu tiba-tiba listrik padam. Ini pemadaman bergilir. Waktu menunjukkan pukul 10 malam, aku tidak bisa tidur karena terus memikirkanmu. Awalnya aku tidak peduli, kucoba saja membeku di tempat tidur dengan mata terpejam sambil membayangkan kau datang memelukku. Tapi sial, suara sesuatu yang jatuh dari luar membuatku berhenti melakukan itu. Aku tak peduli kau akan mengumpatku dengan bagaimana saat kau tahu kalau tiba-tiba aku masuk ke kamarmu. Yang pasti aku tidak mau berada di sana sendirian.

Aku tidak tahu kau ada di mana. Begitu menutup pintu tubuhku langsung meringkuk. Aku bisa merasakan kehadiranmu tapi tidak tahu dengan pasti di mana dirimu. Aku juga bisa merasakan tatapanmu, tapi kau di mana aku tetap tidak tahu.

Perlahan aku bisa mendengar sebuah suara mengalun. Suara yang indah, berasal dari instrumen piano. Kutajamkan pendengaranku, kau ada di sisi kiri tubuhku sekarang, tapi sedikit jauh. Selama beberapa detik hanya terdengar suara melodi, aku tak tahu itu melodi apa. Kau tidak memainkan Fur Elise atau Moonlight Sonata, atau juga karya pianis legendaris lainnya. Yang kudengar adalah hatimu. Ya, hatimu yang mengalun bersamanya. Kau sanggup membuat ketakutanku luntur perlahan.

“Yang tercantik dari yang tercantik, kupersembahkan lagu ini untukmu, bidadari. Aku tahu suaraku tidaklah indah, tapi aku tahu bahwa rasa ini sempurna. Maafkan semua kekuranganku, terimalah semua kelebihanku. Aku tahu ini picisan tapi, aku mencintaimu.”

Itu adalah kalimat yang kau ucapkan beberapa tahun lalu saat kau unjuk kemampuan bermain piano di depan banyak orang . Saat itu matamu tertuju ke arahku. Tidak cukup dengan itu, kau bahkan memamerkan senyum manismu, sampai kemudian beginilah status kita sekarang. Aku ingat, melodi ini sama dengan melodi yang kau pakai dulu. Hanya saja, kenapa kau tidak mengalunkan rapp itu lagi?

“Semua mimpi yang semula jauh di depan mata kini telah ada di sampingku, memelukku, menciumku mesra. Aku tak menyangka dia akan sedekat ini. Seorang bidadari yang rela melepas selendangnya demi hidup bersama manusia tak tahu diri. Apakah aku hanya berhalusinasi? Aku selalu menanyakan itu pada diriku sendiri, tanpa tahu bahwa aku baru saja menyakiti perasaannya. Tuhan hukumlah aku, manusia bodoh ini baru saja melukai makhluk indahmu.”

Suara melodi itu berangsur-angsur hilang. Tepat ketika aku bangkit dan berniat menghampirimu, listrik tiba-tiba menyala. Mataku reflek terpejam, tak kuat menahan sinar terang yang menyorot tiba-tiba. Di saat itulah kau merengkuhku. Erat dan hangat. Bagaimana bisa tubuh kurusmu mendominasi tubuh large size-ku?

Biasanya seseorang akan meminta maaf di saat seperti ini. Tapi kau tidak.

Bicara saja tidak.

Hanya bernapas dan memberiku kehangatan.

Begitu saja aku sudah berterima kasih padamu.


“Selamat ulang tahun.” 
–FIN