[Cuap-Cuap Author] Lebih Penting Mana? Uang, Kebahagiaan atau Cinta?


Sejujurnya daripada menanyakan itu, lebih tepatnya aku nggak punya satu pun di atas. I don’t have money, I’m unhappy, and I don’t have any of love. Dan satu lagi, aku gak punya temen. 

Mungkin kedengarannya kayak aku mengkhianati Tuhanku, orangtuaku, temen-temenku, orang-orang yang menyukaiku, tapi jujur aja, itu yang aku rasakan sekarang. 

Aku itu kayak udah disetting dengan pemikiran ini, “Bahagia itu kalau punya uang. Dan bahagia itu kalau punya pacar atau nikah”. Aku sendiri bener-bener nggak tahu kenapa aku bisa menetapkan pikiran yang seperti itu. Aku ngerasa … clueless. Ada apa dengan cara pikirku ini sebenernya? Apa yang masuk ke otakku sampe pemikiranku jadi kolot banget gini. 


Orang-orang bilang itu karena aku terlalu banyak di rumah. Ya, bisa jadi itu memang salah satu alasannya. Terlalu banyak di rumah, bertemu dengan orang-orang yang sama, melakukan kegiatan yang sama, menatap pemandangan yang sama, menghirup udara yang sama, bisa jadi mempengaruhi cara pikirku. Tapi bukan berarti aku nggak berjuang untuk jalan-jalan keluar. Aku bolak-balik ngirim ‘proposal’ ke Nyonya besar kalau aku pingin jalan-jalan ke kosan kakak sepupu di Malang, mesti di reject. Alasan nomor wahidnya selalu keuangan. 

Maybe karena itu juga. 

“Ma, aku pingin ke Malang.”

“Jangan. Nggak ada uang.”

“Uangnya kupake beli novel ya, Ma.”

“Jangan. Mending buat beli kebutuhan yang lain.” 

Jadi seolah udah terstruktur kalau uang adalah segalanya. Money is everything. If you don’t have money, you can’t be happy

Wow, I’m so sad.

Rasanya pingin bakar semua uang di dunia ini. 

Aku membicarakan tentang ini ke seseorang, pas banget orang itu adalah orang yang kusuka. Dia mungkin geregetan gitu setiap kali aku bikin alesan ‘gak ada uang’ tiap kali aku nolak saran-sarannya untuk hang out dll. Sampai dia bilang gini, “Nggak perlu butuh uang juga kok untuk bahagia. Yang penting kamu punya niat.”

Ugh, aku nggak tahu harus menyalahkan siapa. Aku capek menyalahkan. Aku pingin banget mensyukuri, tapi semua itu malah menekanku untuk lebih banyak menyalahkan. Apa yang salah denganku? Kenapa aku seperti ini? 

Aku itu pingin bahagia, jujur saja. Memang siapa sih yang nggak pingin bahagia? Tapi keinginan bahagia yang besar itu sama besarnya dengan ketakutan-ketakutanku terhadap pandangan orang, terhadap apa yang akan terjadi di masa depan. 

Kenapa ya? 

It’s so sick!

Dulu itu, aku punya banyak banget cita-cita. Cita-cita yang memang cita-cita, bukan berdasarkan kondisi melainkan keinginan hatiku sendiri. Aku pingin jadi arsitek, atau kalau enggak jadi psikolog, atau kalau enggak jadi desainer interior, pokoknya dulu itu aku selalu penuh dengan impian dan harapan. 

Tapi sekarang, kayak sehabis mendaki gunung trus jatuh ke jurang. Hopeless. Saat ada temen yang tanya, “Apa cita-citamu?” aku hampir bilang “nggak ada”. Bener-bener nggak ada. Apa coba? Aku ngambil jurusan kuliah yang nggak aku inginkan meskipun aku cocok di situ. Aku pingin banget kerja tapi nggak punya kualifikasi ‘penampilan menarik’ apalagi ‘dapat berkomunikasi dengan baik’. Kalaupun merantau sulit untuk dapet izin, karena ya anak perempuan satu-satunya, terlebih akunya takut sama dunia luar. Nikah? Yang bener aja men! Aku memikirkan ini jutaan kali dan keputusan finalnya adalah aku belum siap. 

I don’t have anything. Gak punya keberanian, nggak punya skill, nggak punya wajah cantik, ga punya apa pun. 

Ya Allah, aku nggak bersyukur banget sih jadi orang. 

Kalau ditanya apa yang kulakukan saat ini, aku nggak melakukan banyak hal—meski secara teknis sangat banyak. Sebagai seorang hamba, aku memang shalat 5 waktu setiap hari tapi masih jarang untuk berdoa dengan sungguh-sungguh. Mungkin karena itu aku kurang bahagia. Maybe, aku harus lebih berusaha keras untuk membangun hubungan dekat dengan Tuhanku sendiri. Sebagai seorang anak, aku berusaha untuk jadi anak perempuan yang berbakti. Setidaknya gantiin mama bersihin rumah, bantu ortu ngurusin adek, dan lain-lain. Kalau sebagai pelajar, aku mencoba untuk kuliah dengan lebih giat. Setidaknya meski jarang masuk, tugas-tugas diselesaikan gitu loh, biar kelihatan masih mahasiswa. Sementara sebagai aku sendiri, aku nggak melakukan banyak hal. 

Kerjaanku paling nulis artikel, nulis ff, translate konten-konten BTS, baca-baca buku motivasi, main game, ya paling itu-itu aja. 

Nggak ada yang spesial. 

Ada keinginan untuk membangun hubungan dengan lawan jenis, hubungan yang cukup serius katakanlah, tapi aku kayak udah kehilangan minat gitu. Pacaran udah ga tertarik sama sekali. Bahkan untuk kenalan dengan orang baru pun aku malesnya minta ampun. Mikirnya mesti, “Halah gitu-gitu aja paling”. Say hi >> flirting >> open heart >> disappointed >> argue >> end. Gak mudah. Nggak ada yang mudah emang hh.

Inti dari tulisan ini apa? Hanya sekadar curahan hatiku saja sih sebenernya. Perasaan perlu dituangkan bukan? Tapi jika tidak dengan berbicara dengan orang, maka menulislah. Aku gak pinter bicara, jadi aku memilih untuk menumpahkan semua itu ke dalam tulisan. Memendamnya cuma akan jadi penyakit. Dan aku gak mau penyakitan di usia 20. Masih pingin menikmati hidup ya, jadi Mr. penyakit, jauh-jauhlah sana. 

Thx for visit.