Latte Lovers



Di dalam seduhan biji kopi ada cerita. Semua orang tahu kalau kopi itu pahit, tapi meski begitu mereka menyukainya. Aromanya sungguh sangat berkharisma, tak ada benda lain lagi di dunia ini yang memiliki aroma seperti itu. Dari kejauhan warnanya hitam, namun saat didekati, terdapat cokelat samar yang malu-malu menampakkan diri. Ketika kita meminumnya, dapat kita rasakan sesuatu yang menggelora yang menggelitik perasaan. Entahlah, kita tak bisa menerjemahkannya dengan kata-kata. Yang pasti, kau akan kecanduan dengannya.

Seperti dia yang tergila-gila pada latte. Setiap harinya dia pergi ke coffee shop demi membeli segelas latte untuk diminum hari itu. Pagi, siang, sore, bahkan malam. Senin, selasa, rabu, kamis, jum’at, sabtu sampai minggu. Barista, penjaga kasir, pelayan, mereka semua hapal dengan wajahnya. Si gadis cantik berkulit pucat dengan iris mata hitam kopi, tinggi sekitar 165 cm dengan berat 50 kg, dan selalu memakai sepatu converse. Senyumnya yang manis bak susu yang dituangkan dalam kopi pahit, selalu mewarnai hari-hari para pekerja di Lovers coffee shop. Para wanita menyukainya, apalagi para pria. Hanya saja dia tak pernah menyinggung sedikit pun soal dirinya. Tiap kali ditanya, dia selalu menjawab seadanya, seolah menegaskan pada si penanya untuk tidak bertanya lebih lanjut.

Pagi sambil mencangklong tas selempang dan sekotak makanan, dia datang ke Lovers dan duduk di meja paling dekat dinding kaca. Dikeluarkannya laptop bergambar apel termakan sedikit di bagian atasnya dari tas, lalu memainkan jarinya dengan cepat di atas keyboard. Mata almond-nya tampak serius memandang layar.

Seorang pelayan pria yang baru bekerja di sana hari itu, menghampirinya sambil membawa nampan berisi secangkir latte dan sepotong red velvet cake. Wajahnya tampak muram, barusan dia ditegur oleh pelayan senior karena memberontak soal sepotong red velvet cake ini. “Dia tidak memesannya, untuk apa dihidangkan?” ujarnya di dapur tadi. Pelayan senior menjawab, “Ini adalah bonus untuknya.” Ia pun menyahut, “Apa yang telah diperbuatnya sampai kau harus menghidangkan menu yang tidak ada di sini?” “Dia pelanggan spesial.” “Ini tidak adil bagi yang lain.” “Sudahlah, berikan saja padanya.” Karena mendapat pelototan tidak ramah dari pelayan senior, itulah alasan kenapa dia sekarang sudah berdiri di dekat meja itu.

“Nona, pesanan Anda datang.”

Tidak ada sahutan. Dia terlalu serius dengan laptopnya.

“Nona, pesanan Anda datang.”

Setelah ketiga kalinya, saat pelayan baru itu hampir saja ingin berteriak, dia menoleh. Dengan sudut mata yang tumpul, dia memperhatikan seorang di dekat mejanya dengan tidak berdosa.

“Oh iya, silahkan.” Dia seketika sadar begitu melihat nampan yang dibawa pria muda itu.

Red velvet ini BONUS untuk Anda dari PELAYAN SENIOR.” ‘bonus’ dan ‘pelayan senior’ disebutkan dengan sedikit penekanan. Dia hanya tersenyum mendengarnya.

“Katakan padanya, terima kasih banyak Erwin.”

Ucapan dia membuat pelayan baru terkaget-kaget. Bagaimana dia tahu nama pelayan seniornya? Pelayan baru sungguh dibuat bingung. Ketika dia kembali dan mengatakan itu pada pelayan senior, reaksinya “sama-sama, Sweetie”.

Siang, dengan rambut diurai hingga menyentuh pinggang, dia datang kembali ke Lovers. Wajahnya tampak kuyu dari yang tadi pagi. Namun senyumnya masih terpampang manis. Dia memilih duduk di meja lain yang dekat dengan dinding kaca, karena meja yang sebelumnya sudah ditempati sepasang pengantin baru. Dia tak lagi mengeluarkan laptop. Tas cangklongnya dia baringkan di atas meja.

Pelayan pria menghampirinya. Pelayan yang tadi. Rompi hitamnya tanggal, tersisa kemeja putih saja yang bagian lengannya terlipat hingga siku, menampakkan otot yang tidak begitu penuh. Nampan di tangannya berisi secangkir latte dan irisan apel. Wajahnya lagi-lagi muram. Untuk kedua kalinya di hari pertama bekerja, dia harus berdebat dengan dua pelayan senior. “Apel? Tadi red velvet sekarang apel. Apa dia putri raja sampai kalian harus memberikan ini padanya?”, “Kau hanya pelayan baru, kau tidak tahu apa-apa soalnya.”, “Justru karena aku tidak tahu makanya beritahu aku,” desaknya marah. “Kalau kau mau tahu, berikan ini padanya.”

“Nona, pesanan Anda datang.”

Dia sedang melamun, tapi tidak secuek tadi pagi. Mendengar suara pelayan baru, dia langsung menoleh. Raut wajahnya yang lelah tampak memaksakan diri untuk tersenyum.

“Terima kasih.”

“Dan ini APEL dari PELAYAN SENIOR DUA.”

“Katakan padanya, terima kasih Ariel.”

Pelayan baru kembali ke belakang, dan menyampaikan itu pada pelayan senior dua. Dan yang dikatakan wanita berambut biru laut itu, “sama-sama, Beauty.”


Tadi Sweetie, sekarang Beauty. Nanti apa lagi?

Sore dia datang kembali. Kali ini tampak fresh. Mengenakan dress pendek motif bunga-bunga, rambut diikat ponytail, dan wajah yang dipoles dengan make up tipis, semua keanggunan itu hancur ketika kakinya lagi-lagi dibalut sepatu converse. Pelayan baru menghampirinya ogah-ogahan. Tidak ada lagi cerita pemberontakan pada pelayan senior. Mau mereka memberikan bonus apa, memang apa pedulinya.

“Nona, pesanan Anda datang.”

“Ah iya, terima kasih,” balas dia dengan ceria. Kali ini senyumnya tampak berbeda, si pelayan seolah sedang melihat iklan apel segar.

“Salad itu bonus dari pelayan senior tiga.”

“Kalau begitu titipkan rasa terima kasihku pada Andy.”

“Sama-sama, Grace.” Itulah balasan dari pelayan senior tiga ketika pelayan baru menyampaikan salam.

Pukul 9 malam, saat Lovers akan menutup diri, dia kembali datang. Kali ini pakaiannya tampak tertutup, dress selututnya dibalut dengan mantel merah panjang, lagi-lagi kaki terbalut sepatu converse. Dia tidak duduk di meja dekat kaca. Dia menunggu pesanan di depan meja pemesanan, sambil mengobrol dengan gadis berambut cokelat terang yang menjaga kasir.

Pelayan baru yang lagi-lagi bertugas mengantar pesanan, datang menghampirinya dengan pakaian kasual. Ia tampan dengan pakaian seperti itu, dan kelihatan lebih santai. Tapi wajahnya sungguh tidak bersahabat.

“Ini pesananmu.”

Dia menoleh, lalu tersenyum. “Terima kasih banyak.”

“Apa yang membuatmu suka datang ke sini?” tanyanya to the point, setelah dia mengambil pesanannya.

Si penjaga kasir dan penjaga meja pemesanan langsung menoleh pada pelayan baru. Ekspresi mereka mirip, sama-sama menunjukkan kekesalan mereka. Namun pelayan baru sama sekali tidak peduli. Bahkan kalau dipecat pun ia tidak akan peduli.

Tapi dia tersenyum.

“Karena aku menyukainya.”

“Apa? Kau datang kemari hanya karena menyukai tempat ini? Hah, kau sedang mengajakku bercanda?”

Dia menggeleng pelan saat penjaga kasir akan memukul si pelayan baru.

“Aku memang menyukai tempat ini. Sangat sangat menyukainya.”

Pelayan baru menyeringai. “Kau suka karena orang-orang di sini memerlakukanmu spesial ‘kan? Mereka memberimu red velvet, apel, salad, cokelat batangan yang bahkan tidak dijual di sini. Aku benar-benar seperti orang bodoh saat harus mengantarkan semua pesanan itu padamu.”

Suasana coffee shop mendadak tegang. Semua pekerja sedang ada di sana, dan mendengarkan apa yang barusan dikatakan pelayan baru. Ekspresi mereka tampak tidak bersahabat, tinggal tunggu waktu saja kapan pelayan baru itu akan mampus.

“Aku sangat menyukai latte di sini. Tapi bukan karena itu aku menyukai Lovers.” Dia alihkan pandangan ke semua orang yang berdiri di belakang pelayan baru. “Mereka bukan hanya seorang barista, pelayan, penjaga kasir, tapi mereka adalah keluargaku. Orang-orang yang menerimaku dengan baik di tempat ini. Aku sangat senang Erwin membiarkanku mencoba red velvet buatannya, dia bilang dia sedang berencana membuka pastry, dan aku adalah orang pertama yang mencoba kue-kue buatannya. Aku sangat berharap dia segera membuka usahanya sendiri. Begitu pula Ariel yang sangat suka menanam buah-buahan organik. Aku menyukai semua buah dari kebunnya, dan aku berterima kasih karena dia bersedia memberiku buahnya meski satu iris saja. Salad Andy benar-benar luar biasa, aku yakin dia bisa menjadi chef andal seperti yang diimpikannya. Dan cokelat batangan buatan Sidney keren, dia membuatnya dengan sepenuh cinta, aku bisa merasakan bagaimana tulusnya perasaan Sidney ketika membuat cokelat ini.”

Pelayan baru hanya bisa melongo. Apa yang barusan ia dengar sungguh di luar dugaan. Jadi inikah maksud kenapa mereka memberikan bonus-bonus pada dia?

Semua pekerja mulai beres-beres begitu dia pergi. Pelayan baru masih mematung di tempat, mencerna apa yang barusan terjadi di depan matanya. Saat pelayan berambut merah gelap lewat, ia pun menegurnya.

“Kau tahu siapa nama gadis itu?”

“Angel.”


END